Filipa Henderson Sousa, Edinburgh Napier University dan Peter Barlow, Edinburgh Napier University
Terlepas dari efektivitas vaksin, kita masih membutuhkan obat untuk mengobati COVID-19. Bahkan orang-orang yang telah menerima dua dosis vaksin masih punya kemungkinan kecil terjangkit COVID dan berakhir dengan sakit sedang atau bahkan parah. Obat untuk COVID memang ada, tapi akses terhadapnya hanya tersedia lewat rumah sakit.
Satu obat menjanjikan yang dapat memperbaiki keadaan adalah molnupiravir, sebuah antivirus yang sedang memasuki tahap akhir pengujian pada manusia. Para peneliti berharap molnupiravir dapat digunakan untuk mengobati dan mencegah COVID. Yang menjadi poin penting adalah molnupiravir dapat diminum sebagai pil – artinya, untuk mendapatkannya, orang tidak perlu dirawat di rumah sakit.
Obat ini melemahkan kemampuan SARS-CoV-2, virus penyebab COVID, untuk melipatgandakan dirinya. Obat ini bekerja dengan meniru salah satu blok bangunan materi genetik virus. Ketika virus bereproduksi, ia membuat salinan baru dari RNA-nya, dan obat itu akhirnya dimasukkan ke dalamnya.
Ketika virus kemudian bereproduksi, molnupiravir menyebabkan mutasi menumpuk di RNA virus yang meningkat setiap kali melipatgandakan diri. Akhirnya, ini menyebabkan “bencana” bagi virus saat mutasi yang berlebihan membuat virus tidak dapat bereproduksi sama sekali, dan akhirnya mati.
Seberapa efektif obat ini bekerja?
Sejauh ini, sebuah percobaan kecil melakukan tinjauan efek molnupiravir pada 202 pasien COVID, yang tidak dirawat di rumah sakit, yang mulai mengalami gejala. Peserta secara acak diberi jatah untuk menerima molnupiravir atau plasebo, dengan dosis antivirus yang berbeda.
Hasil uji coba telah diterbitkan sebagai pracetak (preprint), artinya, hasil itu belum ditinjau secara resmi oleh ilmuwan lain. Namun, uji coba menunjukkan bahwa setelah tiga hari pengobatan, virus SARS-CoV-2 yang menular, secara signifikan lebih jarang ditemukan pada pasien yang memakai 800mg molnupiravir (2%) dibandingkan dengan mereka yang memakai plasebo (17%).
Pada hari kelima, virus tidak terdeteksi pada pasien yang menerima 400mg atau 800mg molnupiravir, tapi masih ditemukan pada 11% dari mereka yang memakai plasebo. Oleh karena itu, percobaan menunjukkan bahwa molnupiravir dapat mengurangi dan menghilangkan infeksi SARS-CoV-2 pada pasien dengan COVID ringan.
Ini menunjukkan bahwa molnupiravir mempercepat pembersihan virus, dan menjadi bukti bahwa obat ini bisa berguna tidak hanya untuk mengobati COVID tapi juga mengurangi kemungkinan penyebarannya.
Tapi untuk mengetahui seberapa bermanfaatnya, kita perlu melihat apa yang terjadi dalam uji coba lebih lanjut. Molnupiravir saat ini juga sedang dinilai dalam uji coba pasien COVID yang baru dirawat di rumah sakit. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah pengobatan molnupiravir dini dapat mengurangi waktu yang diperlukan untuk pasien dengan COVID yang parah untuk membersihkan virus. Namun sejauh ini, belum ada hasil yang diungkapkan.
Sebuah percobaan lebih besar dengan 1.850 peserta kini meninjau untuk melihat apakah molnupiravir lebih baik daripada plasebo dalam mencegah penyakit serius dan kematian pada pasien COVID dewasa yang tidak dirawat di rumah sakit. Dan percobaan fase 3 (tahap akhir pengujian pada manusia) sekarang merekrut peserta – di 17 negara berbeda – untuk meninjau apakah pengobatan molnupiravir dini pada pasien positif COVID mencegah orang lain yang tinggal di rumah yang sama dari infeksi. Penelitian sebelumnya telah menunjukkan molnupiravir, dengan cara ini, dapat menghentikan penyebaran SARS-CoV-2 pada sekawanan musang.
Jika uji coba ini menghasilkan kinerja yang baik, dampak molnupiravir bisa sangat besar. Mengingat beratnya penyakit yang dapat disebabkan oleh SARS-CoV-2, antivirus yang efektif akan menjadi senjata berharga untuk dimiliki dalam persenjataan klinis kita – terutama jika molnupiravir terus bertindak secepat sebagaimana kita lihat dalam pengujian. Pasien yang menderita COVID dapat sangat mudah mengalami kritis mendadak.
Karena obat ini dapat dikonsumsi secara oral maka akan sangat membantu dan mudah digunakan pada tahap awal infeksi sebab mudah diakses meski di luar rumah sakit. Selain itu, molnupiravir dapat diproduksi dalam jumlah besar dan tidak memerlukan transportasi dingin. Vaksin dan tindakan fisik untuk mengendalikan penyebaran virus masih akan menjadi taktik utama untuk mengelola COVID, tapi obat ini dapat melengkapi keduanya.
Dari mana asalnya?
Mengembangkan obat antivirus biasanya membutuhkan waktu lama. Faktanya, molnupiravir baru tersedia 18 bulan setelah pandemi, karena molnupiravir tidak dikembangkan secara khusus untuk COVID. Ini adalah antivirus spektrum luas – yang berarti dapat digunakan untuk melawan berbagai macam virus. Pengembangannya dimulai pada 2013 di Emory University di AS.
Fokusnya kemudian adalah menemukan obat antivirus untuk pengobatan infeksi virus radang otak, ancaman utama bagi kesehatan masyarakat manusia dan hewan di Amerika. Dalam pengembangan, obat ini awalnya dikenal sebagai EIDD-1931. Pengujian luas mengonfirmasi bahwa obat ini mampu menghambat beberapa virus RNA untuk berlipat ganda, termasuk virus influenza, beberapa virus corona dan virus inveksi saluran pernapasan.
Namun, ketika EIDD-1931 diberikan secara oral kepada monyet, obat ini dengan cepat dimetabolisme dalam tubuh hewan itu sehingga turun aktivitas antivirusnya. Untuk mengatasi hal ini, para ilmuwan menciptakan obat tidak aktif (dikenal sebagai prodrug) yang kemudian diubah menjadi obat aktif di dalam tubuh. Prodrug EIDD-1931 adalah molnupiravir.
Awalnya, pengembang molnupiravir mengajukan permohonan izin kepada Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) AS untuk mengujinya pada manusia sebagai pengobatan untuk influenza musiman. Namun, setelah COVID muncul, dan molnupiravir terbukti memiliki efek terhadap SARS-CoV-2, permintaan diajukan untuk mengujinya pada COVID. Suatu hari nanti, mungkin saja obat ini bisa digunakan untuk mengobati sejumlah penyakit yang berbeda.
Rachel Noorajavi menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.
Filipa Henderson Sousa, Postdoctoral Research Fellow in Infectious Diseases, Edinburgh Napier University dan Peter Barlow, Professor of Immunology and Infection, Edinburgh Napier University
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.