Hampir 90% jurnalis perempuan Indonesia pernah mengalami kekerasan, mengapa begitu masif?

8 Min Read

Hampir 90% jurnalis perempuan Indonesia pernah mengalami kekerasan, mengapa begitu masif?

Aktivis Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta menggambar mural saat menggelar aksi solidaritas di depan Kejaksaan Agung, Jakarta untuk jurnalis Tempo Nurhadi yang menjadi korban kekerasan, 1 Desember 2021. Jurnalis perempuan juga kerap jadi korban kekerasan.
ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/foc

Masduki, Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta; Engelbertus Wendratama, PR2Media; Monika Pretty Aprilia, Universitas AMIKOM Yogyakarta, dan Rahayu, Universitas Gadjah Mada

Mayoritas jurnalis perempuan Indonesia (86%) pernah mengalami kekerasan sepanjang karier jurnalistik mereka.

Riset terbaru kami pada akhir 2021 menunjukkan kekerasan itu terjadi di ranah fisik dan digital, bersifat seksual dan non-seksual, dengan bentuk sangat beragam. Selain tindakan langsung, kekerasan juga terjadi dalam bentuk diskriminasi gender di kantor.

Masalah ini sangat serius karena Indonesia belum memiliki regulasi yang memadai untuk melindungi jurnalis perempuan dari beragam kekerasan yang berpotensi besar menimpa mereka.

Jurnalis sebagai profesi yang mendorong tegaknya demokrasi dan hak asasi manusia harus dilindungi agar mereka bisa bekerja dengan nyaman dan aman untuk publik.

Kekerasan, kekerasan, dan kekerasan

Dibanding studi yang dilakukan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), SAFENet dan berbagai lembaga nirlaba lainnya sebelum ini di Indonesia, riset kami merupakan survei berskala nasional pertama yang mengonfirmasi dugaan dan cerita individual yang beredar luas bahwa banyak jurnalis perempuan Indonesia mengalami kekerasan, baik di ranah digital maupun fisik.

Riset ini berlangsung selama Agustus-Oktober 2021. Ada sekitar 1.256 jurnalis perempuan di 191 kota dan kabupaten yang mewakili Indonesia bagian barat, tengah, dan timur yang menjadi responden.

Kami menemukan sebanyak 1.077 jurnalis (85,7%) pernah mengalami kekerasan. Hanya 179 responden (14,3%) yang tidak pernah mengalami kekerasan sama sekali.

Sementara, jenis kekerasan yang paling banyak dialami oleh responden adalah komentar negatif terkait tubuh atau body shaming secara lisan atau tatap muka (59%).

Temuan buruk ini sangat berpotensi merugikan jurnalisme dan kebebasan pers di Indonesia. Pasalnya, kontribusi jurnalis perempuan bagi kehidupan pers baik di tanah air maupun secara global sangat vital bagi upaya pengarusutamaan suara, potensi, dan tantangan para perempuan.

Survei ini juga menunjukkan kekerasan di ranah digital lebih banyak dialami jurnalis perempuan dibandingkan kekerasan di ranah fisik, meskipun perbedaannya sangat tipis. Hal tersebut tetap terjadi meski ada tren penurunan kegiatan di ruang fisik akibat digitalisasi dan pandemi COVID-19.

Menurut pernyataan para responden dan informan riset, kekerasan bisa terjadi karena alasan profesional (terkait liputan) (28%), alasan seks dan gender (semata karena mereka perempuan) (29%), dan gabungan keduanya (31%). Alasan profesional ini biasanya terkait dengan topik liputan yang “sensitif” dan melibatkan penguasa, lingkungan, polemik keagamaan, dan gender atau seksualitas (LGBTIQ).

Cara responden menanggapi kekerasan

Cara yang paling banyak dilakukan responden (52%) saat mengalami kekerasan adalah melaporkan ke atasan atau rekan kerja, organisasi terkait (29%), dan mengajukan tuntutan hukum (10%).

Respons lainnya adalah penyelesaian masalah secara pribadi seperti menghadapi sendiri, menegur, melakukan diskusi, melancarkan serangan balik, bercerita ke kerabat, dan menuangkannya ke dalam tulisan atau artikel.

Berdasarkan kasus yang mereka alami, para responden mengajukan beberapa usulan yang perlu diupayakan untuk mencegah dan mengatasi kasus kekerasan. Pelatihan untuk para penyintas dan pihak terkait lainnya menjadi usulan paling banyak (40%), diikuti panduan atau modul mencegah dan mengatasi kekerasan terhadap jurnalis perempuan (29%), pendampingan hukum (23%), dan pendampingan psikologis (7%).

Agar beragam ide dan usulan ini terealisasi, kolaborasi antara para pihak menjadi kunci.

Saatnya mengakhiri kekerasan

Riset UNESCO menunjukkan 73% dari 900 orang jurnalis perempuan di 125 negara pernah mengalami kekerasan digital. Ini menunjukkan bahwa peristiwa kekerasan di ranah digital lebih banyak terjadi dibanding kekerasan di ranah fisik.

Dalam konteks Indonesia, perlu upaya khusus yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan seperti jurnalis, asosiasi jurnalis, organisasi media, dan asosiasi perusahaan media, dalam menghadapi peningkatan kekerasan terhadap jurnalis perempuan Indonesia di ranah digital.

Institusi lainnya yang perlu diajak bekerja sama untuk mengakhiri kekerasan terhadap jurnalis perempuan adalah Komisi Penyiaran Indonesia, Dewan Pers, Kementerian Komunikasi dan Informatika, serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak.

Di sisi lain, masyarakat sebagai bagian dari ekosistem media juga berkontribusi mencegah kekerasan dengan menumbuhkan budaya nirkekerasan dengan tidak menoleransi, menormalisasi, dan melakukan tindakan kekerasan terhadap jurnalis.

Sedangkan sebagai audiens dan konsumen media, masyarakat harus mengutamakan solusi nirkekerasan jika ada sengketa dengan jurnalis atau media.

Lembaga swadaya masyarakat, komunitas, akademisi, dan beragam elemen gerakan masyarakat dapat berkontribusi aktif mendukung pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap jurnalis perempuan.

Rekomendasi

Ada sejumlah langkah mendesak yang harus dilakukan untuk melindungi jurnalis perempuan dari ancaman kekerasan baik di kantor maupun di lapangan.

Secara nasional, kita perlu mendorong pemerintah segera membuat protokol tertulis tentang perlindungan jurnalis perempuan sebagai bagian dari Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Sampai saat ini belum ada regulasi khusus untuk melindungi jurnalis perempuan.

Dewan Pers, Komisi Penyiaran Indonesia, dan pihak lain terkait pers (organisasi jurnalis dan organisasi perusahaan pers) perlu segera menyusun panduan tertulis terkait langkah-langkah jika terjadi kekerasan terhadap jurnalis perempuan.

Selain itu, panduan atau protokol ini idealnya juga menyasar kebijakan struktural dan organisasi sehingga menjadi payung hukum dan menerapkan sanksi yang tegas.

Dewan Pers secara simbolik perlu menjaga perwakilan anggota yang berlatar belakang perempuan. Harapannya, keterwakilan yang proporsional dapat melahirkan kebijakan yang lebih menaruh perhatian pada penciptaan ruang aman dan perlindungan untuk jurnalis perempuan.

Konstituen Dewan Pers seperti AJI, PWI dan IJTI harus mengusulkan perwakilan perempuan pada setiap pemilihan anggota Dewan Pers.

Di luar organisasi media dan Dewan Pers, organisasi profesi seperti AJI berperan sangat strategis. AJI Indonesia sebenarnya telah menyusun Panduan Pelaporan dan Advokasi Kasus Kekerasan Jurnalis, namun masih bersifat umum. Perlu ada panduan yang lebih spesifik untuk melindungi jurnalis perempuan agar pengarusutamaan kebijakan anti kekerasan tidak hanya bersifat individual.

Selain itu, panduan juga dapat berisi ajakan bagi jurnalis laki-laki untuk turut mencegah kekerasan terhadap jurnalis perempuan, yang berbasis kultur misoginis dan menormalkan pelecehan.

Di level penanganan kasus, pendampingan jurnalis perempuan yang menjadi korban kekerasan bisa dilakukan di berbagai tingkatan dan oleh beragam pihak terkait. Pada tingkat terendah adalah di lingkup organisasi media tempat mereka bekerja.

Jika tidak bisa diupayakan, pendampingan harus dilakukan oleh para pihak di luar organisasi media, yaitu asosiasi pekerja media atau asosiasi jurnalis, dan lembaga masyarakat sipil yang fokus ke isu ini. Bentuk pendampingan dapat berupa dimensi psikologis, perburuhan hingga jalur hukum.

Yang tidak kalah penting, kesadaran warga umum, baik narasumber maupun bukan, untuk menghargai jurnalis perempuan perlu terus ditingkatkan.

Arti penting pekerjaan jurnalis perempuan di tengah masyarakat demokratis dan bahwa kegiatan jurnalistik dilindungi oleh Undang-Undang Pers juga harus selalu kita kampanyekan.The Conversation

Masduki, Pengajar dan Peneliti Kebijakan Media di Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta; Engelbertus Wendratama, Peneliti di PR2Media, PR2Media; Monika Pretty Aprilia, Pengajar di Prodi Ilmu Komunikasi, Universitas AMIKOM Yogyakarta, dan Rahayu, Lecturer in the Department of Communication Science, Universitas Gadjah Mada

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Share This Article