Tiap hari saya belajar membuat keputusan. Saya semakin menyadari alangkah bahaya jika hidup kita diserahkan begitu saja pada “belenggu rutinitas“.
Kita biarkan hidup mengalir begitu saja, lalu tanpa disadari, usia semakin tua. Anak semakin besar, kulit makin keriput, tenaga makin melemah, otak tambah pikun. Bisa jadi sebentar lagi, mati!
Ketika saya “menengok” ke belakang, berhenti sejenak, merenung, bertafakkur, menghisab diri … alangkah malunya saya dengan “laporan-laporan” yang saya “baca“.
Kinerja amal shaleh saya masih amat sedikit. Pertumbuhan prestasi agak menurun. Pertambahan pengetahuan tidak begitu banyak. Ah, pokoknya memalukan sekali!
Buat saya laporan kehidupan itu penting sekali. Saya jadi “ngeh” ternyata banyak sekali dalam kehidupan masa lalu, ada hal-hal yang tidak saya putuskan dengan benar.
Tanpa sadar saya membiarkan diri saya berada dalam “pengaruh angin“. Kemana angin kencang, kesana saya terbang. Saya tidak mengambil sikap. Saya cenderung bergerak apa adanya. Saya jadi tersenyum kecut, mungkin saya nggak jauh beda dengan bangkai yang terus dibawa arus gelombang.
Ya! “Hanya ikan yang hidup yang bisa menentang arus!”
***
Ada satu hal yang sering menyebabkan saya “tidak mengambil keputusan secara benar”. Saya membiarkan diri saya berada dalam “tawanan rutinitas” dalam kebiasaan-kebiasaan yang secara otomatis-refleks terjadi begitu saja. Akibatnya saya “tidak sadar” bahwa saya sering telah mengambil keputusan. Saya kurang awas dengan situasi.
Dalam keseharian, sebenarnya sering kita berada dalam situasi pengambilan keputusan. Karena adanya perasaan tidak-penting, biasanya keputusan dan pilihan-pilihan yang kita ambil berlalu begitu saja, umumnya refleks, spontan, otomatis, cepat.
Semakin cepat gerak laju kehidupan kita, semakin banyak keputusan-keputusan instan yang kita lakukan. Umumnya prosesnya sederhana dan pasti sebagian besar “tidak dipikirkan secara mendalam“. Beberapa diantaranya diambil sambil makan pagi, sambil bercengkerama, bahkan sambil menerima telpon.
Tidak masalah memang bila keputusan-keputusan itu tidak mempunyai dampak yang besar. Akan tetapi tidak jarang keputusan-keputusan yang kita ambil sambil makan malam misalnya, bisa memiliki pengaruh bertahun-tahun kemudian, yang baru kita sadari setelah berjalan cukup jauh. Beberapa diantaranya bisa jadi dipengaruhi oleh karakter-karakter kita.
Saya akui, saya punya satu kelemahan yang cukup fatal. Saya seorang koleris sanguinus, menurut pola kepribadian-nya Florence Litteur. Ya, itulah saya. Akibatnya saya mudah sekali membuat keputusan-keputusan secara instant, mendadak, dan kadang tanpa pertimbangan. Apalagi jika koleris saya yang terpancing.
Itulah sebabnya saya perlu sekali “belajar membuat keputusan yang saya inginkan“.
Saya tahu kelemahan saya yaitu karakter koleris sanguinis saya sangat dominan saat berada dalam situasi pengambilan keputusan. Saya juga tahu betapa hebatnya dampak sebuah keputusan, apapun itu, dalam arah kehidupan saya. Tentu saya tak boleh asal-asalan. Tentu saja saya tak ingin menyesal dan merasa terpenjara oleh keputusan-keputusan yang telah saya ambil.
Setiap hari, saya membuat keputusan: besar ataupun kecil. Setiap saat saya berada dalam keadaan memilih. Baik saya sadari atau tidak. Artinya, setiap hari saya lah yang memilih takdir saya sendiri. Baik pilihan itu karena saya suka atau karena saya terpaksa. Baik karena saya ingin membahagiakan diri saya, ataukah karena saya ingin membahagiakan orang lain. Atau mungkin juga karena saya tidak tahu apa-apa, lalu saya asal-asalan saja memilih diantara beberapa opsi keputusan.
Yang jelas, sebenarnya tetap saja, saya lah akhirnya yang “membuat keputusan”. Bukan orang lain!
Saya sadar betul, apa pun keputusan yang saya pilih, hasilnya pasti sangat mempengaruhi kehidupan saya dan keluarga saya. Karena itu saya perlu sekali untuk terus belajar “membuat keputusan” secara benar. Saya harus terus belajar “membuat keputusan yang saya inginkan”, bukan yang “orang lain inginkan!”.
Saya sadari cukup banyak keputusan-keputusan yang salah yang saya lakukan di masa lalu. Jadilah ia potret kehidupan sekarang ini. Apa yang saya peroleh hari ini adalah hasil dari keputusan saya dulu-dulu. Tentu sudah tak ada gunanya lagi menyesali apa yang saya terima hari ini. Sekarang, ia sudah menjadi takdir yang tak mungkin saya ubah!
Sebenarnya di waktu-waktu dulu itu, saya telah diberi Tuhan kebebasan untuk “memilih takdir” yang saya ingini. Waktu itu saya diberi kekuasaan oleh Allah SWT secara bebas untuk memilih jalan hidup saya. Seharusnya waktu itu saya bisa “membuat takdir” hidup saya berbeda dari takdir saya hari ini. Tetapi, saya membiarkannya saja. Saya tidak membuat pilihan. Saya tidak memilih. Saya tidak mengambil keputusan.
Menyadari hal itu, saya menyesal sekali. Tapi sesal memang selalu tak berguna. Yang perlu saya lakukan cuma satu, fokus pada masa depan.
***
“I am responsible with my life!”
Belajar dari masa lalu, hal utama yang makin saya sadari adalah: sayalah yang bertanggung jawab terhadap masa depan saya. Bukan orang tua saya, bukan istri saya, bukan anak saya, bukan guru saya, bukan ustad saya, bukan bos saya, bukan relasi saya. Hanya saya!
Maka, dengan segenap kekuatan mental yang masih tersisa, dengan sisa kepercayaan yang masih terjaga, saya teriak, “I change!”
Saya yang harus berubah. Saya harus fokus pada apa yang perlu saya ubah di dalam diri saya. Saya tak mau fokus “mengubah orang lain”.
Bukan lingkungan saya yang harus berubah. Bukan orang tua saya yang harus berubah dan mengerti saya. Bukan istri saya yang harus mengubah sikapnya agar sesuai dengan keinginan saya. Bukan anak saya yang harus mau mengubah perangainya agar melakukan apa yang saya mau. Bukan rekan bisnis saya yang harus mati-matian saya ubah sudut pandangnya. Bukan! Sekali lagi bukan itu.
I change! Saya yang pertama sekali harus berubah.
Saya harus berani mengambil tanggungjawab terhadap sisa perjalanan hidup saya. Apakah hidup saya akan berakhir dengan hustul khatimah (akhir yang baik yang mendapat ridlo Ilahi), atau jatuh menjadi su’ul khatimah (akhir yang celaka) … saya yang harus mengambil tanggung jawab itu.
Saya lah yang bertanggung jawab! Oleh karena itu saya musti membuat perubahan. Saya musti kembali ke jalan yang benar. Jalan yang Allah ridhai.
Inilah keputusan paling penting yang mesti saya tetapkan dengan segala kandungan kekuatan maknanya!
(by Nilna Iqbal)